A. Pendahuluan
Dalam perspektif Islam, komunikasi
merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia karena segala
gerak langkah kita selalu disertai dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud
adalah komunikasi yang islami, yaitu komunikasi berakhlak al-karimah atau
beretika. Komunikasi yang berakhlak al-karimah berarti komunikasi yang
bersumber kepada Al-Quran dan hadis (sunah Nabi).
Di dalam hadis Nabi juga, ditemukan
prinsip-prinsip etika komunikasi, bagaiman Rasulullah saw mengajarkan
berkomunikasi kepada kita. Misalnya, pertama, qulil haqqa walaukana murran
(katakanlah apa yang benar walaupun pahit rasanya). Kedua, falyakul khairan au
liyasmut (katakanlah bila benar kalau tidak bisa,diamlah). Ketiga, laa takul
qabla tafakur (janganlah berbicara sebelum berpikir terlebih dahulu). Keempat,
Nabi menganjurkan berbicara yang baik-baik saja, sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Dunya, “Sebutkanlah apa-apa yang baik mengenai sahabatmu yang
tidak hadir dalam pertemuan, terutama hal-hal yang kamu sukai terhadap
sahabatmu itu sebagaimana sahabatmu menyampaikan kebaikan dirimu pada saat kamu
tidak hadir”. Kelima, selanjutnya Nabi saw berpesan, “Sesungguhnya Allah tidak
suka kepada orang-orang…yaitu mereka yang menjungkirkan-balikkan fakta (fakta)
dengan lidahnya seperti seekor sapi yang mengunyah-ngunyah rumput dengan
lidahnya”. Pesan Nabi saw tersebut bermakna luas bahwa dalam berkomunikasi
hendaklah sesuai dengan fakta yang kita lihat, kita dengar, dan kita alami[1].
Prinsip-prinsip etika tersebut,
sesungguhnya dapat dijadikan landasan bagi setiap muslim ketika melakukan
proses komunikasi, baik dalam pergaulan sehari-hari, berdakwah, maupun
aktivitas-aktivitas lainnya.
Etika
Berkomunikasi dalam alquran yang termasuk kategori denotatif adalah etika atau
kebiasaan dalam hidup, yang dilakukan karena memang penting, dan etika juga
merupakan sebuah nilai moral yg biasanya dianut oleh seseorang atau kelompok.
Komunikasi
sangat penting dan tidak dapat kita lepaskan dalam kehidupan sehari-hari,
karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial dan mengharuskannya untuk
berkomunikasi agar dapat beradaptasi dalam lingkungan, menyampaikan pesan
kepada orang lain berupa kabar, berita, dan lain-lain.
Denotatif
atau menyampaikan makna yang sebenarnya dan yang bersifat faktual (sesuai
keadaan). Dan denotatif biasanya lebih bisa dipercaya oleh masyarakat.
Dengan
harusnya berkomunikasi yang baik dan faktual (sesuai keadaan), maka
didalam alquran Allah SWT telah memberikan Etika yang baik dan benar, sehingga
dapat berguna bagi manusia. Dalam berbagai literatur tentang komunikasi Islam kita dapat menemukan
setidaknya enam jenis gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yang dikategorikan
sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam, yakni: (1) Qaulan Sadida,
(2) Qaulan Baligha, (3) Qulan Ma’rufa, (4) Qaulan Karima, (5) Qaulan Layinan,
dan (6) Qaulan Maysura.
B.
Qaulan
Sadida (Perkataan Yang Benar Dan Jujur)
. Al-Qosyani menafsirkan Qaulan
Sadida dengan : kata yang lurus (qowiman); kata yang benar (Haqqan); kata yang
betul, tepat (Shawaban). Al-Qasyani berkata bahwa sadad dalam dalam pembicaraan
berarti berkata dengan kejujuran dan dengan kebenaran dari situlah terletak
unsur segala kebahagiaan, dan pangkal dari segala kesempurnaan, karena yang
demikian itu berasal dari kemurnian hati. Dalam lisanul A’rab Ibnu Manzur
berkata bahwa kata sadid yang dihubungkan dengan qaul (perkataan) mengandung
arti sebagai sasaran. Dan Moh. Natsir dalam Fiqhud dakwahnya mengatakan bahwa,
Qaulan Sadida adalah perkataan lurus (tidak berbeli-belit), kata yang
benar,keluar dari hati yang suci bersih, dan diucapkan dengan cara demikian
rupa, sehingga tepat mengenai sasaran yang dituju yakni sehingga panggilan
dapat sampai mengetuk pintu akal dan hati mereka yang di hadapi.
kebenaran, faktual, hal yang benar
saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta.
Dari segi redaksi, komunikasi Islam harus menggunakan kata-kata yang baik dan
benar, baku, sesuai kadiah bahasa yang berlaku.
Seorang muslim jika berkata harus
benar, jujur tidak berdusta. Karena sekali kita berkata dusta, selanjutnya kita
akan berdusta untuk menutupi dusta kita yang pertama, begitu seterusnya,
sehingga bhbir kita pun selalu berbohong tanpa merasa berdosa. Siapapun tak
ingin dibohongi, seorang istri akan sangat sakit hatinya bila ketahuan suaminya
berbohong, begitu juga sebaliknya. Rakyat pun akan murka bila dibohongi
pemimpinnya. Juga tidak kalah penting dalam menyampaikan kebenaran, adalah
keberanian untuk bicara tegas, jangan ragu dan takut, apalagi jelas dasar
hukumnya yaitu Al Quran dan hadits.
“Dan jauhilah perkataan-perkataan
dusta” (QS. Al-Hajj:30).
“Hendaklah kamu berpegang pada
kebenaran (shidqi) karena sesungguhnya kebenaran itu memimpin kepada kebaikan
dan kebaikan itu membawa ke surga” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
“Katakanlah kebenaran walaupun pahit
rasanya” (HR Ibnu Hibban).
“Dan berkatalah kamu kepada semua
manusia dengan cara yang baik” (QS. Al-Baqarah:83).
“Sesungguhnya segala persoalan itu
berjalan menurut ketentuan” (H.R. Ibnu Asakir dari Abdullah bin Basri).
QS.
An Nisa (4): 9
|·÷uø9ur úïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz ZpÍhè $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøn=tæ (#qà)Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´Ïy ÇÒÈ
9. dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.
Dalam Tafsir Al-Qurtubi dijelaskan makna السديد
(as-sadid) yaitu perkataan yang bijaksana dan perkataan yang benar. Atau ada
yang mengatakan perintah orang yang sakit untuk mengeluarkan sebagian hartanya
dari hak-hak yang diwajibkannya, kemudian memberi wasiat kepada kerabatnya
semampunya selama hal itu tidak dilakukan untuk membahayakan jiwa sang anak.
Makna sadid dalam ayat di atas tidak saja berarti benar, akan
tetapi juga dapat berarti tepat sasaran. Agar tercapai pada sasaran, maka
kata-kata yang akan disampaikan hendaknya diungkapkan dengan nada lemah lembut.
Jikalaupun kata-kata tersebut merupakan kritik, maka dalam kondisi yang
bersamaan harus dibarengi dengan upaya untuk memperbaikinya, bukan justru
meruntuhkannya, sehingga informasi benar-benar sampai pada sasaran secara
tepat, benar dan mengena.[2]
Asbabun nuzulnya
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa tatkala Rasulullah saw
datang menjenguk saad bin abi waqqash yang sedang sakit, bertanyalah Saad
kepadanya: “Ya Rasulullah, saya mempunyai harta dan hanya putriku satu-satunya
yang akan mewarisiku, dapatkah kusedekahkan 2/3 hartaku?”
Jawab
Rasulullah. “Jangan.”
Dan
kalau separuh, bagaimana? tanya saad lagi.
“jangan.”
jawab Rasulullah.
Dan
kalau sepertiganya?, bagaimana ya Rasulullah?” tanya Saad lagi
Rasulullah
menjawab, “Sepertiga pun masih banyak, kemudian rasulullah Bersabda:
“Sesungguhnya
lebih baik meninggalkan ahli waris dalam keadaan kaya dari pada meninggalkan
mereka dalam keadaanmiskin yang meminta-minta”.
C.
Qulan Baligha
(Tepat Sasaran, Komunikatif, To The Poin, Mudah Dimengerti)
jalaluddin rahmat mengatakan bahwa
Qaulan Baligha artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran,
komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the
point), dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele. Agar komunikasi tepat
sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah disesuaikan dengan
kadar intelektualitas komunikan dan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh
mereka. [3]
Didalam alquran hendaklah menyampaikan pesan sesuai dengan akal dan
kemampuan mereka agar mereka memahami dan dapat di mengerti, tentang apa pesan
kita dan juga sampaikan pesan yang bisa menyentuh hati dan fikiran mereka,
dengan berkata yang jujur dan bersemangat dalam menyampaikan pesan.
QS. An Nisa: 63
y7Í´¯»s9'ré& úïÉ©9$# ãNn=÷èt ª!$# $tB Îû óOÎhÎ/qè=è% óÚÌôãr'sù öNåk÷]tã öNßgôàÏãur @è%ur öNçl°; þ_Îû öNÎhÅ¡àÿRr& Kwöqs% $ZóÎ=t/ ÇÏÌÈ
63. mereka itu adalah orang-orang yang
Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu
dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka
Perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.
Tafsirnya;
Mereka itu adalah orang-orang yang Allah
mengetahui apa yang di dalam hati mereka
Mereka
adalah orang-orang munafik, Allah mengetahui kebohongan serta hakikat
yang ada di dalam hati mereka. Dan kelak Allah akan memberikan balasan terhadap
mereka atas hal tersebut. Karena sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang
tersembunyi bagi Allah. Karena itu, serahkanlah urusan mereka kepada Allah,
sebab Dia mengetahui lahiriah mereka dan apa yang mereka sembunyikan.
Karena itu berpalinglah kamu dari
mereka,
Maksudny, janganlah kamu bersikap kasar terhadap
kemunafikan yang ada di dalam hati mereka.
dan berilah mereka pelajaran
yakni cegahlah mereka dari kemunafikan dan
kejahatan yang mereka sembunyikan di dalam hati mereka.
dan katakanlah kepada mereka perkataan
yang berbekas pada jiwa mereka.
Nasehatilah mereka dalam semua perkara yang terjadi
antara kamu denagn mereka, yaitu dengan perkataan yang membekas dalam jiwa
mereka lagi membuat mereka tercegah dari niat jahatnya.[4]
D. Qaulan
Ma’rufa (Perkataan Yang Baik)
Jalaluddin rahmat menjelaskan bahwa
qaulan ma’rufan adalah perkataan yang baik. Allah menggunakan frase ini ketika
berbicara tentang kewajiban orang-orang kaya atau kuat terhadap orang-orang
miskin atau lemah.qaulan ma’rufan berarti pembicaraan yang bermamfaat
memberikan pengetahuan , mencerahkan pemikiran, menunjukan pemecahan terhadap
kesulitan kepada orang lemah, jika kita tidak dapat membantu secara
material,kita harus dapat membantu psikologi. Qaulan Ma’rufa juga bermakna
pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat). Sebagai muslim
yang beriman,perkataan kita harus terjaga dari perkataan yang sia-sia, apapun
yang kita ucapkan harus selalu mengandung nasehat, menyejukkan hati bagi orang
yang mendengarnya. Jangan sampai kita hanya mencari-cari kejelekan orang lain,
yang hanya bisa mengkritik atau mencari kesalahan orang lain, memfitnah dan
menghasut.[5]
QS. Al Ahzab (33): 32
uä!$|¡ÏY»t ÄcÓÉ<¨Z9$# ¨ûäøó¡s9 7tnr'2 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4 ÈbÎ) ¨ûäøøs)¨?$# xsù z`÷èÒørB ÉAöqs)ø9$$Î/ yìyJôÜusù Ï%©!$# Îû ¾ÏmÎ7ù=s% ÖÚttB z`ù=è%ur Zwöqs% $]ùrã÷è¨B ÇÌËÈ
32. Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian
tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu
tunduk[1213] dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit
dalam hatinya[1214] dan ucapkanlah Perkataan yang baik,
Tafsirnya
[1213] Yang dimaksud dengan tunduk di sini ialah berbicara dengan
sikap yang menimbulkan keberanian orang bertindak yang tidak baik terhadap
mereka.
[1214] Yang dimaksud dengan dalam hati mereka ada penyakit Ialah:
orang yang mempunyai niat berbuat serong dengan wanita, seperti melakukan zina.
Wahai istri-istri nabi, kalian tidaklah seperti wanita-wanita lain
dalam hal-hal keutamaan dan kedudukan karena Allah elah memuliakan kalian
dengan menjadi istri-istri sang pemimpin anak Adam, Rasulullah s.a.w. Jika
kalian bertakwa dan takut kepada Allah maka janganlah kalian bersuara lemah dan
lunak ketika berbicara dengan pria asing. Sebab, suara semacam itu bisa
membangkitkan syahwat dan kekejian dalam hatinya. Perintah ini mencakup seluruh
wanita muslimah. Apabila kalian berbicara maka lakukanlah pembicaraan yang
tidak mengandung keraguan dan tidak melanggar syariat, bukan pembicaraan yang
lemah lembut atau kasar.
E. Qaulan
Karima (Perkataan yang mulia)
qaulan karima adalah orang yang telah
lanjut usia,pendekatan yang digunakan adalah dengan perkataan yang mulia,
santun penuh penghormatan dan penghargaan tidak menggurui tidak perlu retorika
yang meledak-ledak. Term qaulan karima terdapat dalam surat al-isra ayat 23.
Dalam perspektif dakwah maka term
pergaulan qaulan karima diperlakukan jika dakwah itu ditujukan kepada kelompok
orang yang sudah masuk kategori usia lanjut. Seseorang da’i dalam perhubungan
dengan lapisan mad’u yang sudah masuk kategori usia lanjut, haruslah bersikap
seperti terhadap orang tua sendiri,yankni hormat dan tidak kasar
kepadanya,karena manusia meskipun telah mencapai usia lanjut,bisa saja berbuat
salah. Dengan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa qaulan karimah
adalah perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan,
enak didengar, lemah-lembut, dan bertatakrama.
Dalam konteks jurnalistik dan
penyiaran, Qaulan Karima bermakna mengunakan kata-kata yang santun, tidak
kasar, tidak vulgar, dan menghindari “bad taste”, seperti jijik, muak, ngeri,
dan sadis. Perkataan yang mulia
biasanya diiringi dengan kata yang lemah-lembut, penuh hormat, dan bertata
krama yang baik, biasanya dilakukan ketika berbicara dengan orang yang lebih
tua.
QS.
Al Isra’ (17) : 23
* 4Ó|Ós%ur y7/u wr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$Î) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7t x8yYÏã uy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdxÏ. xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& wur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJÌ2 ÇËÌÈ
23.
dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah
seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka Perkataan yang mulia[850].
Tafsirnya
[850]
Mengucapkan kata Ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi
mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada
itu.[6]
kedua
orang tualah yang belas kasih kepada anaknya, dan telah bersusah payah dalam
memberikan kebaikan kepada-Nya, dan menghindarkan dari bahaya. Oleh karena itu,
wajiblah hal itu diberi imbalan dengan berbuat baik dan syukur pada keduanya.[7] Ucapankalah
dengan ucapan yang baik kepada kedua orang tua dan perkataan yang manis,
dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, sesuai dengan kesopanan yang
baik, dan sesuai dengan tuntutan kepribadian yang luhur. Seperti ucapan : wahai
ayahanda, wahai ibunda. Dan janganlah kamu memanggil orang tua dengan nama
mereka, jangan pula kamu meninggikan suaramu di hadapan orang tua, apalagi kamu
memelototkan/membelalakan matamu terhadap mereka berdua.
Menurut
Ahmad Al-Ansori Al-Qurtubi dalam tafsirnya Al-Jami’ul Ahkam Al-Qurtubi, beliau
menafsirkan kata (qoulan karima) yaitu kata atau ungkapan dengan lemah lembut,
seperti memanggil kedua orang tua dengan panggilan yang sopan, semisal Ayahanda
atau Ibunda, bukan justru sebaliknya memanggil dengan panggilan namanya maupun
dengan ungkapan atau perkataan yang semisalnya, baik berupa sindiran atau
kiasan. Lebih jauh lagi beliau menjelaskan (qoulan karima) yaitu kata-kata yang
santun, sopan dan bukan kata-kata yang kasar seperti halnya kata-kata yang
diungkapkan oleh orang-orang jahat. Ayat di atas menegaskan perintah untuk
berkata kepada orang tua dengan perkataan yang pantas, kata-kata yang mulia,
kata-kata yang keluar dari mulut orang yang beradab dan bersopan santun.[8]
F. Qaulan
Layyinan (Perkataan yang lembut)
Cara
berkomunikasi yang ramah, enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat
menyentuh hati para pendengar.
Didalam
islam yang dapat menjadi contoh salah satunya nabi Muhammad saw beliau sangat
ramah dan selalu menggunakan kata-kata yang lembut baik kepada muslim atau non
muslim, maka dari itu beliau diterima dan sangat disenangi dalam masyarakat.
QS.
Thaha (20) : 43-44
!$t6ydø$# 4n<Î) tböqtãöÏù ¼çm¯RÎ) 4ÓxösÛ ÇÍÌÈ wqà)sù ¼çms9 Zwöqs% $YYÍh©9 ¼ã&©#yè©9 ã©.xtFt ÷rr& 4Óy´øs ÇÍÍÈ
43. Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun,
Sesungguhnya Dia telah melampaui batas;
44. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang
lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut".
Tafsirnya
43.
Allah memerintahkan Musa dan Harun untuk pergi menemui fir’aun karena dia telah
congkak, sombong dan melampaui batas dalam kekafiran, kezaliman, dan berbuat
kerusakan.
44.
Allah memerintahkan kepada ke 2 nya untuk berbicara dengan tuturkata yang lemah
lembut dan baik kepada fir’aun tanpa harus berkata keras atau kasar agar dakwah
mereka bisa diterima, tuturkata yang lembut ini dari manusia terbaik kepada
manusia terjahat.
Dari ayat tersebut maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa Qaulan Layina berarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan
suara yang enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati
maksudnya tidak mengeraskan suara, seperti membentak, meninggikan suara.
Siapapun tidak suka bila berbicara dengan orang-orang yang kasar. Rasullulah
selalu bertuturkata dengan lemah lembut, hingga setiap kata yang beliau ucapkan
sangat menyentuh hati siapapun yang mendengarnya.Dalam Tafsir Ibnu Katsir
disebutkan, yang dimaksud layina ialah kata kata sindiran, bukan dengan kata
kata terus terang atau lugas, apalagi kasar.
Ayat di atas adalah perintah Allah
SWT kepada Nabi Musa dan Harun agar berbicara lemah-lembut, tidak kasar, kepada
Fir’aun. Dengan Qaulan Layina, hati komunikan (orang yang diajak berkomunikasi)
akan merasa tersentuh dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan komunikasi
kita.
Dengan demikian, dalam komunikasi
Islam, semaksimal mungkin dihindari kata-kata kasar dan suara (intonasi) yang
bernada keras dan tinggi. Allah melarang bersikap keras dan kasar dalam
berdakwah, karena kekerasan akan mengakibatkan dakwah tidak akan berhasil malah
ummat akan menjauh. Dalam berdoa pun Allah memerintahkan agar kita memohon
dengan lemah lembut, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara
yang lemahlembut, sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas,” (Al A’raaf ayat 55)
G. Qaulan
Maysura (Perkataan yang ringan)
Kata maisura berasal dari kata yasr,
yang artinya mudah. Qaulan maisura adalah lawan dari kata ma’sura, perkataan
yang sulit. Sebagai bahasa Komunikasi, qaulan maisura artinya perkataan yang
mudah diterima, dan ringan, yang pantas, yang tidak berliku-liku. Dakwah dengan
qaulan maisura yang artinya pesan yang disampaikan itu sederhana, mudah
dimengerti dan dapat dipahami secara spontan tanpa harus berpikir dua kali. .
QS.
Al Isra’ (17): 28
$¨BÎ)ur £`|ÊÌ÷èè? ãNåk÷]tã uä!$tóÏGö/$# 7puH÷qu `ÏiB y7Îi/¢ $ydqã_ös? @à)sù öNçl°; Zwöqs% #YqÝ¡ø¨B ÇËÑÈ
28. dan jika kamu berpaling dari mereka
untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, Maka Katakanlah kepada
mereka Ucapan yang pantas[851].
Tafsirnya
[851] Maksudnya: apabila kamu tidak dapat melaksanakan perintah
Allah seperti yang tersebut dalam ayat 26, Maka Katakanlah kepada mereka
Perkataan yang baik agar mereka tidak kecewa lantaran mereka belum mendapat
bantuan dari kamu. dalam pada itu kamu berusaha untuk mendapat rezki (rahmat)
dari Tuhanmu, sehingga kamu dapat memberikan kepada mereka hak-hak mereka.[9]
Maksudnya
jika kamu tidak bisa memberikan apa-apa kepada keluarga-keluarga dekat, orang
miskin dan musafir, sedang kamu malu untuk menolaknya, dan kamu menunggu
kejembaran dari Allah yang kamu harapkan bakal datang kepadamu, termasuk rezeki
yang melimpah padamu, maka katakanlah kepada mereka perkataan yang lunak dan
baik, serta janjikanlah kepada mereka janji yang tidak mengecewakan hati.[10]
Jika
kamu terpaksa menolak orang yang meminta kepadamu dan tidak memberinya sesuatu
apapun karena kamu tidak memiliki apa-apa, sementara itu kamu menunggu
datangnya rezeki dari Allah maka katakanlah kepada orang yang meminta tersebut
kata-kata yang baik, menyenangkan, dan lembut seperti doa untuknya semoga
keperluannya terpenuhi dan urusannya dimudahkan.
Asbabun
nuzul
Menurut
Atha al-Khurasani, ayat ini diturunkan berkenaan dengan beberapa oarang Bani
Muzainah yang suatu ketika datang meminta bantuan tunggangan untuk berperang
kepada Rasulullah. Rasul menjawab, “aku tidak mempunyai tunggangan yang akan
mengangkut kalian.” Mereka pun pergi dengan berlinang air mata dan mengira
bahwa Rasul marah kepada mereka. (H.R. Sa’id bin Manshur)[11]
Dalam
Tafsir Adz-Dzikra, Bahtiar Amin menafsirkan,
jika kita sedang dalam kekurangan, sedang untuk menolak mereka
orang-orang miskin itu tidak pula sampai hati, sementara kita ada harapan baik
akan mendapatkan rezeki yang lumayan, maka cara menolaknya itu hendaknya
mempergunakan perkataan yang lemah lembut.[12]
Dalam
Tafsir Al-Azhar, Hamka menjelaskan betapa halus dan bagus bunyi ayat ini, yaitu
untuk orang dermawan berhati mulia dan sudi menolong orang yang perlu. Tetapi
apa boleh buat, di waktu itu tidak ada padanya yang akan diberikan. Maka
disebutkanlah dalam ayat ini, jika engkau terpaksa berpaling dari mereka,
artinya berpaling karena tidak sampai hati melihat orang yang sedang perlu
kepada pertolongan itu, sedangkan kita yang dimintai pertolongan dalam keadaan
kering. Dalam hati kecil sendiri ktia berkata, bahwa nanti di lain waktu, kalau
rezeki ada, rahmat Tuhan turun, orang ini akan saya tolong juga. Maka ketika
menyuruh pulang dengan tangan hampa itu, berilah dia pengharapan dengan
kata-kata yang menyenangkan.
H. Kesimpulan
Kesimpulan
yang dapat diambil sebagai inti dari konsep komunikasi verbal yang dijelaskan
dalam Al-Quran antara lain adalah:
·
Allah menganjurkan kepada kita hendaknya
mengatakan dengan baik, ketika kita menolak permintaan orang lain dalam keadaan
kita sendiri pun tidak mempunyai kesanggupan untuk membantu mereka.
·
Berkatalah dengan kata-kata yang baik,
mulia, dan beradab agar kata yang apabila diucapkan tidak membuat orang lain
sakit hati, benci atau bahkan jengkel akibat dari kata-kata tersebut.
·
Sampaikanlah kata-kata yang menampung seluruh pesan dalam
kalimat yang disampaikan. Kalimatnya tidak bertele-tele tetapi tidak pula
singkat sehingga mengaburkan pesan.
·
Berbicaralah dengan kata-kata yang baik
dan halus, dan hendaknya tidak menyinggung perasaan.
·
Agar tercapai pada sasaran, maka
kata-kata yang akan disampaikan hendaknya diungkapkan dengan nada lemah lembut.
Jikalaupun kata-kata tersebut merupakan kritik, maka dibarengi upaya untuk
memperbaikinya, bukan justru meruntuhkannya, sehingga informasi benar-benar
sampai pada sasaran secara tepat, benar dan mengena.
Beberapa
tehnik atau konsep diatas hanyalah beberapa cara agar kiranya apa (materi) yang
kita (komunikator) sampaikan kepada orang lain (komunikan) dapat efektif atau
tepat sasaran dan mampu memberikan dampak (efek) yang baik dan penggunaan
sarana komunikasi (media) yang tepat dengan pembuktian adanya umpan balik (feed
back) dari orang tersebut sesuai dengan harapan.
DAFTAR PUSTAKAAN
Ad-Dimasyqi ,
Al-Imam Abdul Fida Isma’il Ibnu Kasir, Tafsir
Ibnu Kasir Juz 5 An-Nisa 24- An-Nisa 147, Sinar Baru Algensindo Bandung,
Cet 1, 2001.
Ahmad Ghulusy, ad-Da’watul Islamiyah, Kairo : Darul Kijab,1987.
Al-Hidayah Alquran, Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka, Kalim
Al-Maraqi, Ahmad
Mustafa, Tafsir Al-Maraqi, Toha Putra
Semarang, 1993.
Al-Qarni,
‘Aidh. Tafsir Muyassar, Jakarta: Qisthi Press,2007.
Alquran In Word
Amin, Bahtiar:
juz 11-15. 2002
Mustafa
Al-Maraqi , Ahmad, Tafsir Al-Maraqi, Toha Putra Semarang, 1993.
Rahmat , Jalaluddin, Islam Aktual,Mizan,1996.
Atyma.Blogspot.Co.Id/2012/01/Konsep-Komunikasi-Verbal-Dalam-Al-Quran.Html
[4] Al-Imam Abdul Fida Isma’il Ibnu
Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir Juz
5 An-Nisa 24- An-Nisa 147, (Sinar Baru Algensindo Bandung, Cet 1, 2001)
H.280-281
[6] Alquran In
Word
[7]Ahmad Mustafa Al-Maraqi, Tafsir Al-Maraqi, (Toha Putra Semarang,
1993), H. 59
[9] Alquran In
Word
[11]
Al-hidayah alquran tafsir per kata tajwid kode angka (kalim ) h.286
Tidak ada komentar:
Posting Komentar