Selasa, 10 Januari 2017

ETIKA BERKOMUNIKASI DALAM ALQURAN YANG TERMASUK KATEGORI DENOTATIF


A.    Pendahuluan
Dalam perspektif Islam, komunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia karena segala gerak langkah kita selalu disertai dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang islami, yaitu komunikasi berakhlak al-karimah atau beretika. Komunikasi yang berakhlak al-karimah berarti komunikasi yang bersumber kepada Al-Quran dan hadis (sunah Nabi). 
Di dalam hadis Nabi juga, ditemukan prinsip-prinsip etika komunikasi, bagaiman Rasulullah saw mengajarkan berkomunikasi kepada kita. Misalnya, pertama, qulil haqqa walaukana murran (katakanlah apa yang benar walaupun pahit rasanya). Kedua, falyakul khairan au liyasmut (katakanlah bila benar kalau tidak bisa,diamlah). Ketiga, laa takul qabla tafakur (janganlah berbicara sebelum berpikir terlebih dahulu). Keempat, Nabi menganjurkan berbicara yang baik-baik saja, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya, “Sebutkanlah apa-apa yang baik mengenai sahabatmu yang tidak hadir dalam pertemuan, terutama hal-hal yang kamu sukai terhadap sahabatmu itu sebagaimana sahabatmu menyampaikan kebaikan dirimu pada saat kamu tidak hadir”. Kelima, selanjutnya Nabi saw berpesan, “Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang…yaitu mereka yang menjungkirkan-balikkan fakta (fakta) dengan lidahnya seperti seekor sapi yang mengunyah-ngunyah rumput dengan lidahnya”. Pesan Nabi saw tersebut bermakna luas bahwa dalam berkomunikasi hendaklah sesuai dengan fakta yang kita lihat, kita dengar, dan kita alami[1]. 
Prinsip-prinsip etika tersebut, sesungguhnya dapat dijadikan landasan bagi setiap muslim ketika melakukan proses komunikasi, baik dalam pergaulan sehari-hari, berdakwah, maupun aktivitas-aktivitas lainnya. 
Etika Berkomunikasi dalam alquran yang termasuk kategori denotatif adalah etika atau kebiasaan dalam hidup, yang dilakukan karena memang penting, dan etika juga merupakan sebuah nilai moral yg biasanya dianut oleh seseorang atau kelompok.
Komunikasi sangat penting dan tidak dapat kita lepaskan dalam kehidupan sehari-hari, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial dan mengharuskannya untuk berkomunikasi agar dapat beradaptasi dalam lingkungan, menyampaikan pesan kepada orang lain berupa kabar, berita, dan lain-lain.
Denotatif atau menyampaikan makna yang sebenarnya dan yang bersifat faktual (sesuai keadaan). Dan denotatif biasanya lebih bisa dipercaya oleh masyarakat.
Dengan harusnya berkomunikasi yang baik dan faktual (sesuai keadaan), maka didalam alquran Allah SWT telah memberikan Etika yang baik dan benar, sehingga dapat berguna bagi manusia. Dalam berbagai literatur tentang komunikasi Islam kita dapat menemukan setidaknya enam jenis gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam, yakni: (1) Qaulan Sadida, (2) Qaulan Baligha, (3) Qulan Ma’rufa, (4) Qaulan Karima, (5) Qaulan Layinan, dan (6) Qaulan Maysura. 
B.     Qaulan Sadida (Perkataan Yang Benar Dan Jujur)
. Al-Qosyani menafsirkan Qaulan Sadida dengan : kata yang lurus (qowiman); kata yang benar (Haqqan); kata yang betul, tepat (Shawaban). Al-Qasyani berkata bahwa sadad dalam dalam pembicaraan berarti berkata dengan kejujuran dan dengan kebenaran dari situlah terletak unsur segala kebahagiaan, dan pangkal dari segala kesempurnaan, karena yang demikian itu berasal dari kemurnian hati. Dalam lisanul A’rab Ibnu Manzur berkata bahwa kata sadid yang dihubungkan dengan qaul (perkataan) mengandung arti sebagai sasaran. Dan Moh. Natsir dalam Fiqhud dakwahnya mengatakan bahwa, Qaulan Sadida adalah perkataan lurus (tidak berbeli-belit), kata yang benar,keluar dari hati yang suci bersih, dan diucapkan dengan cara demikian rupa, sehingga tepat mengenai sasaran yang dituju yakni sehingga panggilan dapat sampai mengetuk pintu akal dan hati mereka yang di hadapi. 
kebenaran, faktual, hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta. Dari segi redaksi, komunikasi Islam harus menggunakan kata-kata yang baik dan benar, baku, sesuai kadiah bahasa yang berlaku. 
Seorang muslim jika berkata harus benar, jujur tidak berdusta. Karena sekali kita berkata dusta, selanjutnya kita akan berdusta untuk menutupi dusta kita yang pertama, begitu seterusnya, sehingga bhbir kita pun selalu berbohong tanpa merasa berdosa. Siapapun tak ingin dibohongi, seorang istri akan sangat sakit hatinya bila ketahuan suaminya berbohong, begitu juga sebaliknya. Rakyat pun akan murka bila dibohongi pemimpinnya. Juga tidak kalah penting dalam menyampaikan kebenaran, adalah keberanian untuk bicara tegas, jangan ragu dan takut, apalagi jelas dasar hukumnya yaitu Al Quran dan hadits. 
“Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS. Al-Hajj:30). 
“Hendaklah kamu berpegang pada kebenaran (shidqi) karena sesungguhnya kebenaran itu memimpin kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga” (HR. Muttafaq ‘Alaih). 
“Katakanlah kebenaran walaupun pahit rasanya” (HR Ibnu Hibban). 
“Dan berkatalah kamu kepada semua manusia dengan cara yang baik” (QS. Al-Baqarah:83). 
“Sesungguhnya segala persoalan itu berjalan menurut ketentuan” (H.R. Ibnu Asakir dari Abdullah bin Basri).
QS. An Nisa (4): 9
|·÷uø9ur šúïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz Zp­ƒÍhèŒ $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøŠn=tæ (#qà)­Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´ƒÏy ÇÒÈ  

9. dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.
Dalam Tafsir Al-Qurtubi dijelaskan makna السديد (as-sadid) yaitu perkataan yang bijaksana dan perkataan yang benar. Atau ada yang mengatakan perintah orang yang sakit untuk mengeluarkan sebagian hartanya dari hak-hak yang diwajibkannya, kemudian memberi wasiat kepada kerabatnya semampunya selama hal itu tidak dilakukan untuk membahayakan jiwa sang anak.
Makna sadid dalam ayat di atas tidak saja berarti benar, akan tetapi juga dapat berarti tepat sasaran. Agar tercapai pada sasaran, maka kata-kata yang akan disampaikan hendaknya diungkapkan dengan nada lemah lembut. Jikalaupun kata-kata tersebut merupakan kritik, maka dalam kondisi yang bersamaan harus dibarengi dengan upaya untuk memperbaikinya, bukan justru meruntuhkannya, sehingga informasi benar-benar sampai pada sasaran secara tepat, benar dan mengena.[2]
Asbabun nuzulnya
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa tatkala Rasulullah saw datang menjenguk saad bin abi waqqash yang sedang sakit, bertanyalah Saad kepadanya: “Ya Rasulullah, saya mempunyai harta dan hanya putriku satu-satunya yang akan mewarisiku, dapatkah kusedekahkan 2/3 hartaku?”
Jawab Rasulullah. “Jangan.”
Dan kalau separuh, bagaimana? tanya saad lagi.
“jangan.” jawab Rasulullah.
Dan kalau sepertiganya?, bagaimana ya Rasulullah?” tanya Saad lagi
Rasulullah menjawab, “Sepertiga pun masih banyak, kemudian rasulullah Bersabda:
            “Sesungguhnya lebih baik meninggalkan ahli waris dalam keadaan kaya dari pada meninggalkan mereka dalam keadaanmiskin yang meminta-minta”.
C.    Qulan Baligha (Tepat Sasaran, Komunikatif, To The Poin, Mudah Dimengerti)
jalaluddin rahmat mengatakan bahwa Qaulan Baligha artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the point), dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele. Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah disesuaikan dengan kadar intelektualitas komunikan dan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh mereka. [3]
Didalam alquran hendaklah menyampaikan pesan sesuai dengan akal dan kemampuan mereka agar mereka memahami dan dapat di mengerti, tentang apa pesan kita dan juga sampaikan pesan yang bisa menyentuh hati dan fikiran mereka, dengan berkata yang jujur dan bersemangat dalam menyampaikan pesan.
QS. An Nisa: 63
y7Í´¯»s9'ré& šúïÉ©9$# ãNn=÷ètƒ ª!$# $tB Îû óOÎhÎ/qè=è% óÚ̍ôãr'sù öNåk÷]tã öNßgôàÏãur @è%ur öNçl°; þ_Îû öNÎhÅ¡àÿRr& Kwöqs% $ZóŠÎ=t/ ÇÏÌÈ
 
63. mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka Perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.

Tafsirnya;
Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka
Mereka adalah orang-orang munafik, Allah mengetahui kebohongan serta hakikat yang ada di dalam hati mereka. Dan kelak Allah akan memberikan balasan terhadap mereka atas hal tersebut. Karena sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah. Karena itu, serahkanlah urusan mereka kepada Allah, sebab Dia mengetahui lahiriah mereka dan apa yang mereka sembunyikan.
Karena itu berpalinglah kamu dari mereka,
Maksudny, janganlah kamu bersikap kasar terhadap kemunafikan yang ada di dalam hati mereka.
dan berilah mereka pelajaran
yakni cegahlah mereka dari kemunafikan dan kejahatan yang mereka sembunyikan di dalam hati mereka.
dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.
Nasehatilah mereka dalam semua perkara yang terjadi antara kamu denagn mereka, yaitu dengan perkataan yang membekas dalam jiwa mereka lagi membuat mereka tercegah dari niat jahatnya.[4]
D.    Qaulan Ma’rufa (Perkataan Yang Baik)
Jalaluddin rahmat menjelaskan bahwa qaulan ma’rufan adalah perkataan yang baik. Allah menggunakan frase ini ketika berbicara tentang kewajiban orang-orang kaya atau kuat terhadap orang-orang miskin atau lemah.qaulan ma’rufan berarti pembicaraan yang bermamfaat memberikan pengetahuan , mencerahkan pemikiran, menunjukan pemecahan terhadap kesulitan kepada orang lemah, jika kita tidak dapat membantu secara material,kita harus dapat membantu psikologi. Qaulan Ma’rufa juga bermakna pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat). Sebagai muslim yang beriman,perkataan kita harus terjaga dari perkataan yang sia-sia, apapun yang kita ucapkan harus selalu mengandung nasehat, menyejukkan hati bagi orang yang mendengarnya. Jangan sampai kita hanya mencari-cari kejelekan orang lain, yang hanya bisa mengkritik atau mencari kesalahan orang lain, memfitnah dan menghasut.[5]
 QS. Al Ahzab (33): 32
uä!$|¡ÏY»tƒ ÄcÓÉ<¨Z9$# ¨ûäøó¡s9 7tnr'Ÿ2 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4 ÈbÎ) ¨ûäøøs)¨?$# Ÿxsù z`÷èŸÒøƒrB ÉAöqs)ø9$$Î/ yìyJôÜuŠsù Ï%©!$# Îû ¾ÏmÎ7ù=s% ÖÚttB z`ù=è%ur Zwöqs% $]ùrã÷è¨B ÇÌËÈ  

32. Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk[1213] dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya[1214] dan ucapkanlah Perkataan yang baik,

Tafsirnya
[1213] Yang dimaksud dengan tunduk di sini ialah berbicara dengan sikap yang menimbulkan keberanian orang bertindak yang tidak baik terhadap mereka.
[1214] Yang dimaksud dengan dalam hati mereka ada penyakit Ialah: orang yang mempunyai niat berbuat serong dengan wanita, seperti melakukan zina.
Wahai istri-istri nabi, kalian tidaklah seperti wanita-wanita lain dalam hal-hal keutamaan dan kedudukan karena Allah elah memuliakan kalian dengan menjadi istri-istri sang pemimpin anak Adam, Rasulullah s.a.w. Jika kalian bertakwa dan takut kepada Allah maka janganlah kalian bersuara lemah dan lunak ketika berbicara dengan pria asing. Sebab, suara semacam itu bisa membangkitkan syahwat dan kekejian dalam hatinya. Perintah ini mencakup seluruh wanita muslimah. Apabila kalian berbicara maka lakukanlah pembicaraan yang tidak mengandung keraguan dan tidak melanggar syariat, bukan pembicaraan yang lemah lembut atau kasar.
E.     Qaulan Karima (Perkataan yang mulia)
qaulan karima adalah orang yang telah lanjut usia,pendekatan yang digunakan adalah dengan perkataan yang mulia, santun penuh penghormatan dan penghargaan tidak menggurui tidak perlu retorika yang meledak-ledak. Term qaulan karima terdapat dalam surat al-isra ayat 23. 
Dalam perspektif dakwah maka term pergaulan qaulan karima diperlakukan jika dakwah itu ditujukan kepada kelompok orang yang sudah masuk kategori usia lanjut. Seseorang da’i dalam perhubungan dengan lapisan mad’u yang sudah masuk kategori usia lanjut, haruslah bersikap seperti terhadap orang tua sendiri,yankni hormat dan tidak kasar kepadanya,karena manusia meskipun telah mencapai usia lanjut,bisa saja berbuat salah. Dengan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa qaulan karimah adalah perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, enak didengar, lemah-lembut, dan bertatakrama. 
Dalam konteks jurnalistik dan penyiaran, Qaulan Karima bermakna mengunakan kata-kata yang santun, tidak kasar, tidak vulgar, dan menghindari “bad taste”, seperti jijik, muak, ngeri, dan sadis. Perkataan yang mulia biasanya diiringi dengan kata yang lemah-lembut, penuh hormat, dan bertata krama yang baik, biasanya dilakukan ketika berbicara dengan orang yang lebih tua.
QS. Al Isra’ (17) : 23
* 4Ó|Ós%ur y7/u žwr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8yYÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ. Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ

23. dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia[850].

Tafsirnya
[850] Mengucapkan kata Ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.[6]
kedua orang tualah yang belas kasih kepada anaknya, dan telah bersusah payah dalam memberikan kebaikan kepada-Nya, dan menghindarkan dari bahaya. Oleh karena itu, wajiblah hal itu diberi imbalan dengan berbuat baik dan syukur pada keduanya.[7] Ucapankalah dengan ucapan yang baik kepada kedua orang tua dan perkataan yang manis, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, sesuai dengan kesopanan yang baik, dan sesuai dengan tuntutan kepribadian yang luhur. Seperti ucapan : wahai ayahanda, wahai ibunda. Dan janganlah kamu memanggil orang tua dengan nama mereka, jangan pula kamu meninggikan suaramu di hadapan orang tua, apalagi kamu memelototkan/membelalakan matamu terhadap mereka berdua.
Menurut Ahmad Al-Ansori Al-Qurtubi dalam tafsirnya Al-Jami’ul Ahkam Al-Qurtubi, beliau menafsirkan kata (qoulan karima) yaitu kata atau ungkapan dengan lemah lembut, seperti memanggil kedua orang tua dengan panggilan yang sopan, semisal Ayahanda atau Ibunda, bukan justru sebaliknya memanggil dengan panggilan namanya maupun dengan ungkapan atau perkataan yang semisalnya, baik berupa sindiran atau kiasan. Lebih jauh lagi beliau menjelaskan (qoulan karima) yaitu kata-kata yang santun, sopan dan bukan kata-kata yang kasar seperti halnya kata-kata yang diungkapkan oleh orang-orang jahat. Ayat di atas menegaskan perintah untuk berkata kepada orang tua dengan perkataan yang pantas, kata-kata yang mulia, kata-kata yang keluar dari mulut orang yang beradab dan bersopan santun.[8]
F.     Qaulan Layyinan (Perkataan yang lembut)
Cara berkomunikasi yang ramah, enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati para pendengar.
Didalam islam yang dapat menjadi contoh salah satunya nabi Muhammad saw beliau sangat ramah dan selalu menggunakan kata-kata yang lembut baik kepada muslim atau non muslim, maka dari itu beliau diterima dan sangat disenangi dalam masyarakat.
QS. Thaha (20) : 43-44
!$t6ydøŒ$# 4n<Î) tböqtãöÏù ¼çm¯RÎ) 4ÓxösÛ ÇÍÌÈ   Ÿwqà)sù ¼çms9 Zwöqs% $YYÍh©9 ¼ã&©#yè©9 ㍩.xtFtƒ ÷rr& 4Óy´øƒs ÇÍÍÈ  

43. Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, Sesungguhnya Dia telah melampaui batas;
44. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut".

Tafsirnya
43. Allah memerintahkan Musa dan Harun untuk pergi menemui fir’aun karena dia telah congkak, sombong dan melampaui batas dalam kekafiran, kezaliman, dan berbuat kerusakan.
44. Allah memerintahkan kepada ke 2 nya untuk berbicara dengan tuturkata yang lemah lembut dan baik kepada fir’aun tanpa harus berkata keras atau kasar agar dakwah mereka bisa diterima, tuturkata yang lembut ini dari manusia terbaik kepada manusia terjahat.
Dari ayat tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Qaulan Layina berarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati maksudnya tidak mengeraskan suara, seperti membentak, meninggikan suara. Siapapun tidak suka bila berbicara dengan orang-orang yang kasar. Rasullulah selalu bertuturkata dengan lemah lembut, hingga setiap kata yang beliau ucapkan sangat menyentuh hati siapapun yang mendengarnya.Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, yang dimaksud layina ialah kata kata sindiran, bukan dengan kata kata terus terang atau lugas, apalagi kasar. 
Ayat di atas adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Harun agar berbicara lemah-lembut, tidak kasar, kepada Fir’aun. Dengan Qaulan Layina, hati komunikan (orang yang diajak berkomunikasi) akan merasa tersentuh dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan komunikasi kita. 
Dengan demikian, dalam komunikasi Islam, semaksimal mungkin dihindari kata-kata kasar dan suara (intonasi) yang bernada keras dan tinggi. Allah melarang bersikap keras dan kasar dalam berdakwah, karena kekerasan akan mengakibatkan dakwah tidak akan berhasil malah ummat akan menjauh. Dalam berdoa pun Allah memerintahkan agar kita memohon dengan lemah lembut, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lemahlembut, sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas,” (Al A’raaf ayat 55) 
G.    Qaulan Maysura (Perkataan yang ringan)
Kata maisura berasal dari kata yasr, yang artinya mudah. Qaulan maisura adalah lawan dari kata ma’sura, perkataan yang sulit. Sebagai bahasa Komunikasi, qaulan maisura artinya perkataan yang mudah diterima, dan ringan, yang pantas, yang tidak berliku-liku. Dakwah dengan qaulan maisura yang artinya pesan yang disampaikan itu sederhana, mudah dimengerti dan dapat dipahami secara spontan tanpa harus berpikir dua kali. .


QS. Al Isra’ (17): 28
$¨BÎ)ur £`|Ê̍÷èè? ãNåk÷]tã uä!$tóÏGö/$# 7puH÷qu `ÏiB y7Îi/¢ $ydqã_ös? @à)sù öNçl°; Zwöqs% #YqÝ¡øŠ¨B ÇËÑÈ  

28. dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, Maka Katakanlah kepada mereka Ucapan yang pantas[851].
Tafsirnya
[851] Maksudnya: apabila kamu tidak dapat melaksanakan perintah Allah seperti yang tersebut dalam ayat 26, Maka Katakanlah kepada mereka Perkataan yang baik agar mereka tidak kecewa lantaran mereka belum mendapat bantuan dari kamu. dalam pada itu kamu berusaha untuk mendapat rezki (rahmat) dari Tuhanmu, sehingga kamu dapat memberikan kepada mereka hak-hak mereka.[9]
Maksudnya jika kamu tidak bisa memberikan apa-apa kepada keluarga-keluarga dekat, orang miskin dan musafir, sedang kamu malu untuk menolaknya, dan kamu menunggu kejembaran dari Allah yang kamu harapkan bakal datang kepadamu, termasuk rezeki yang melimpah padamu, maka katakanlah kepada mereka perkataan yang lunak dan baik, serta janjikanlah kepada mereka janji yang tidak mengecewakan hati.[10]
Jika kamu terpaksa menolak orang yang meminta kepadamu dan tidak memberinya sesuatu apapun karena kamu tidak memiliki apa-apa, sementara itu kamu menunggu datangnya rezeki dari Allah maka katakanlah kepada orang yang meminta tersebut kata-kata yang baik, menyenangkan, dan lembut seperti doa untuknya semoga keperluannya terpenuhi dan urusannya dimudahkan.


Asbabun nuzul
Menurut Atha al-Khurasani, ayat ini diturunkan berkenaan dengan beberapa oarang Bani Muzainah yang suatu ketika datang meminta bantuan tunggangan untuk berperang kepada Rasulullah. Rasul menjawab, “aku tidak mempunyai tunggangan yang akan mengangkut kalian.” Mereka pun pergi dengan berlinang air mata dan mengira bahwa Rasul marah kepada mereka. (H.R. Sa’id bin Manshur)[11]
Dalam Tafsir Adz-Dzikra, Bahtiar Amin menafsirkan,  jika kita sedang dalam kekurangan, sedang untuk menolak mereka orang-orang miskin itu tidak pula sampai hati, sementara kita ada harapan baik akan mendapatkan rezeki yang lumayan, maka cara menolaknya itu hendaknya mempergunakan perkataan yang lemah lembut.[12]
Dalam Tafsir Al-Azhar, Hamka menjelaskan betapa halus dan bagus bunyi ayat ini, yaitu untuk orang dermawan berhati mulia dan sudi menolong orang yang perlu. Tetapi apa boleh buat, di waktu itu tidak ada padanya yang akan diberikan. Maka disebutkanlah dalam ayat ini, jika engkau terpaksa berpaling dari mereka, artinya berpaling karena tidak sampai hati melihat orang yang sedang perlu kepada pertolongan itu, sedangkan kita yang dimintai pertolongan dalam keadaan kering. Dalam hati kecil sendiri ktia berkata, bahwa nanti di lain waktu, kalau rezeki ada, rahmat Tuhan turun, orang ini akan saya tolong juga. Maka ketika menyuruh pulang dengan tangan hampa itu, berilah dia pengharapan dengan kata-kata yang menyenangkan.
H.     Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil sebagai inti dari konsep komunikasi verbal yang dijelaskan dalam Al-Quran antara lain adalah:
·         Allah menganjurkan kepada kita hendaknya mengatakan dengan baik, ketika kita menolak permintaan orang lain dalam keadaan kita sendiri pun tidak mempunyai kesanggupan untuk membantu mereka.
·         Berkatalah dengan kata-kata yang baik, mulia, dan beradab agar kata yang apabila diucapkan tidak membuat orang lain sakit hati, benci atau bahkan jengkel akibat dari kata-kata tersebut.
·         Sampaikanlah  kata-kata yang menampung seluruh pesan dalam kalimat yang disampaikan. Kalimatnya tidak bertele-tele tetapi tidak pula singkat sehingga mengaburkan pesan.
·         Berbicaralah dengan kata-kata yang baik dan halus, dan hendaknya tidak menyinggung perasaan.
·         Agar tercapai pada sasaran, maka kata-kata yang akan disampaikan hendaknya diungkapkan dengan nada lemah lembut. Jikalaupun kata-kata tersebut merupakan kritik, maka dibarengi upaya untuk memperbaikinya, bukan justru meruntuhkannya, sehingga informasi benar-benar sampai pada sasaran secara tepat, benar dan mengena.
Beberapa tehnik atau konsep diatas hanyalah beberapa cara agar kiranya apa (materi) yang kita (komunikator) sampaikan kepada orang lain (komunikan) dapat efektif atau tepat sasaran dan mampu memberikan dampak (efek) yang baik dan penggunaan sarana komunikasi (media) yang tepat dengan pembuktian adanya umpan balik (feed back) dari orang tersebut sesuai dengan harapan.

DAFTAR PUSTAKAAN

Ad-Dimasyqi , Al-Imam Abdul Fida Isma’il Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Kasir Juz 5 An-Nisa 24- An-Nisa 147, Sinar Baru Algensindo Bandung, Cet 1, 2001.
Ahmad Ghulusy, ad-Da’watul Islamiyah, Kairo : Darul Kijab,1987.
Al-Hidayah Alquran, Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka, Kalim
Al-Maraqi, Ahmad Mustafa, Tafsir Al-Maraqi, Toha Putra Semarang, 1993.
Al-Qarni, ‘Aidh. Tafsir Muyassar, Jakarta: Qisthi Press,2007.
Alquran In Word
Amin, Bahtiar: juz 11-15. 2002
Mustafa Al-Maraqi , Ahmad, Tafsir Al-Maraqi, Toha Putra Semarang, 1993.
Rahmat , Jalaluddin, Islam Aktual,Mizan,1996.
Atyma.Blogspot.Co.Id/2012/01/Konsep-Komunikasi-Verbal-Dalam-Al-Quran.Html



[1] Ahmad Ghulusy, ad-Da’watul Islamiyah, Kairo : Darul Kijab,1987.,hal.9 
[2] (atyma.blogspot.co.id/2012/01/konsep-komunikasi-verbal-dalam-al-quran.html)
[3] Jalaluddin Rahmat,islam Aktual,Mizan,1996,hal.83.
[4] Al-Imam Abdul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir Juz 5 An-Nisa 24- An-Nisa 147, (Sinar Baru Algensindo Bandung, Cet 1, 2001) H.280-281
[5] Jalaluddin Rahmat,islam Aktual,Mizan,1996,hal.86.
[6] Alquran In Word
[7]Ahmad Mustafa Al-Maraqi, Tafsir Al-Maraqi, (Toha Putra Semarang, 1993), H. 59
[8] (atyma.blogspot.co.id/2012/01/konsep-komunikasi-verbal-dalam-al-quran.html)
[9] Alquran In Word
[10]Ahmad Mustafa Al-Maraqi, Tafsir , H. 71
[11] Al-hidayah alquran tafsir per kata tajwid kode angka (kalim ) h.286
[12] Amin, Bahtiar: juz 11-15 hlm; 1156

Tidak ada komentar:

Posting Komentar