A.
Pendahuluan
Kerajaan Aceh Darussalam Kerajaan
Aceh sangat terkenal dan gigih dalam melawan para penjajah. Pada awalnya,
Kerajaan Aceh Darussalam adalah daerah taklukan Kerajaan Pedir. Kerajaan Aceh
Darussalam mulai berkembang pesat setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun
1511. Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, para pedagang muslim yang
pedagang di Malaka pindah ke bandar laut Aceh Darussalam. Dengan demikian, Aceh
Darussalam segera berkembang dan mampu lepas dari Kerajaan Pedir pada tahun
1520.
B.
Kerajaan Aceh Darussalam 407 Tahun (
1496 – 1903 M )
Kerajaan Aceh Darussalam berdiri
menjelang keruntuhan Samudera Pasai. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada
tahun 1360 M, Samudera Pasai ditaklukkan oleh Majaphit, dan sejak saat itu,
kerajaan Pasai terus mengalami kemudunduran. Diperkirakan, menjelang
berakhirnya abad ke-14 M, kerajaan Aceh Darussalam telah berdiri dengan
penguasa pertama Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil
Awal 913 H (1511 M) . Pada tahun 1524 M, Mughayat Syah berhasil menaklukkan
Pasai, dan sejak saat itu, menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh
besar di kawasan tersebut. Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya kerajaan Aceh ini
merupakan kelanjutan dari Samudera Pasai untuk membangkitkan dan meraih kembali
kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah dicapai sebelumnya.
Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh
ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali
Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naih tahta menggantikan ayahnya, ia
berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya,
termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M,
kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti
Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di
Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah
dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh
Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan
ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal
dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari penaklukan
kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.
Sejarah mencatat bahwa, usaha
Mughayat Syah untuk mengusir Portugis dari seluruh bumi Aceh dengan menaklukkan
kerajaan-kerajaan kecil yang sudah berada di bawah Portugis berjalan lancar.
Secara berurutan, Portugis yang berada di daerah Daya ia gempur dan berhasil ia
kalahkan. Ketika Portugis mundur ke Pidie, Mughayat juga menggempur Pidie,
sehingga Portugis terpaksa mundur ke Pasai. Mughayat kemudian melanjutkan
gempurannya dan berhasil merebut benteng Portugis di Pasai.
Kemenangan yang berturut-turut ini
membawa keuntungan yang luar biasa, terutama dari aspek persenjataan. Portugis
yang kewalahan menghadapi serangan Aceh banyak meninggalkan persenjataan,
karena memang tidak sempat mereka bawa dalam gerak mundur pasukan.
Senjata-senjata inilah yang digunakan kembali oleh pasukan Mughayat untuk
menggempur Portugis.
Ketika benteng di Pasai telah
dikuasai Aceh, Portugis mundur ke Peurelak. Namun, Mughayat Syah tidak
memberikan kesempatan sama sekali pada Portugis. Peurelak kemudian juga
diserang, sehingga Portugis mundur ke Aru. Tak berapa lama, Aru juga berhasil
direbut oleh Aceh hingga akhirnya Portugis mundur ke Malaka. Dengan kekuatan
besar, Aceh kemudian melanjutkan serangan untuk mengejar Portugis ke Malaka dan
Malaka berhasil direbut. Portugis melarikan diri ke Goa, India. Seiring dengan
itu, Aceh melanjutkan ekspansinya dengan menaklukkan Johor, Pahang dan Pattani.
Dengan keberhasilan serangan ini, wilayah kerajaan Aceh Darussalam mencakup
hampir separuh wilayah pulau Sumatera, sebagian Semenanjung Malaya hingga Pattani.
Demikianlah, walaupun masa
kepemimpinan Mughayat Syah relatif singkat, hanya sampai tahun 1528 M, namun ia
berhasil membangun kerajaan Aceh yang besar dan kokoh. Ali Mughayat Syah juga
meletakkan dasar-dasar politik luar negeri kerajaan Aceh Darussalam, yaitu:
1) mencukupi
kebutuhan sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak luar;
2) menjalin
persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara;
3) bersikap
waspada terhadap negara kolonial Barat;
4) menerima
bantuan tenaga ahli dari pihak luar;
5) menjalankan
dakwah Islam ke seluruh kawasan nusantara. Sepeninggal Mughayat Syah,
dasar-dasar kebijakan politik ini tetap dijalankan oleh penggantinya.
Dalam sejarahnya, Aceh Darussalam
mencapai masa kejayaan di masa Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam
(1590-1636). Pada masa itu, Aceh merupakan salah satu pusat perdagangan yang
sangat ramai di Asia Tenggara. Kerajaan Aceh pada masa itu juga memiliki
hubungan diplomatik dengan dinasti Usmani di Turki, Inggris dan Belanda. Pada masa
Iskandar Muda, Aceh pernah mengirim utusan ke Turki Usmani dengan membawa
hadiah. Kunjungan ini diterima oleh Khalifah Turki Usmani dan ia mengirim
hadiah balasan berupa sebuah meriam dan penasehat militer untuk membantu
memperkuat angkatan perang Aceh.
Hubungan dengan Perancis juga
terjalin dengan baik. Pada masa itu, Perancis pernah mengirim utusannya ke Aceh
dengan membawa hadiah sebuah cermin yang sangat berharga. Namun, cermin ini
ternyata pecah dalam perjalanan menuju Aceh. Hadiah cermin ini tampaknya
berkaitan dengan kegemaran Sultan Iskandar Muda pada benda-benda berharga. Saat
itu, Iskandar Muda merupakan satu-satunya raja Melayu yang memiliki Balee
Ceureumeen (Aula Kaca) di istananya yang megah, Istana Dalam Darud Dunya.
Konon, menurut utusan Perancis tersebut, luas istana Aceh saat itu tak kurang
dari dua kilometer. Di dalam istana tersebut, juga terdapat ruang besar yang
disebut Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan
gajah, dan aliran sungai Krueng yang telah dipindahkan dari lokasi asal
alirannya.
Sebelum Iskandar Muda berkuasa,
sebenarnya juga telah terjalin hubungan baik dengan Ratu Elizabeth I dan
penggantinya, Raja James dari Inggris. Bahkan, Ratu Elizabeth pernah mengirim
utusannya, Sir James Lancaster dengan membawa seperangkat perhiasan bernilai
tinggi dan surat untuk meminta izin agar Inggris diperbolehkan berlabuh dan
berdagang di Aceh. Sultan Aceh menjawab positif permintaan itu dan membalasnya
dengan mengirim seperangkat hadiah, disertai surat yang ditulis dengan tinta
emas. Sir James Lancaster sebagai pembawa pesan juga dianugerahi gelar Orang
Kaya Putih sebagai penghormatan. Berikut ini cuplikan surat Sulta Aceh pada
Ratu Inggris bertarikh 1585 M:
I am the mighty ruler
of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over
the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch
from the sunrise to the sunset.
Artinya :
(Hambalah Sang Penguasa Perkasa Negeri-negeri di bawah
angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh, tanah Sumatera dan seluruh wilayah
yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga
matahari terbenam).
Ketika Raja James berkuasa di
Inggris, ia pernah mengirim sebuah meriam sebagai hadiah kepada sultan Aceh.
Hubungan ini memburuk pada abad ke 18, karena nafsu imperialisme Inggris untuk
menguasai kawasan Asia Tenggara. Selain itu, Aceh juga pernah mengirim utusan
yang dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid ke Belanda, di masa kekuasaan Pangeran
Maurits, pendiri dinasti Oranye. Dalam kunjungan tersebut, Abdul Hamid
meninggal dunia dan dimakamkan di pekarangan sebuah gereja dengan penuh
penghormatan, dihadiri oleh para pembesar Belanda. Saat ini, di makam tersebut
terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Pangeran Bernhard, suami Ratu
Juliana.
Ketika Iskandar Muda meninggal dunia
tahun 1636 M, yang naik sebagai penggantinya adalah Sultan Iskandar Thani Ala‘
al-Din Mughayat Syah (1636-1641M). Di masa kekuasaan Iskandar Thani, Aceh masih
berhasil mempertahankan masa kejayaannya. Penerus berikutnya adalah Sri Ratu
Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675 M), putri Iskandar Muda dan permaisuri
Iskandar Thani. Hingga tahun 1699 M, Aceh secara berturut-turut dipimpin oleh
empat orang ratu. Di masa ini, kerajaan Aceh sudah mulai memasuki era
kemundurannya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya konflik internal di
Aceh, yang disebabkan penolakan para ulama Wujudiyah terhadap pemimpin
perempuan. Para ulama Wujudiyah saat itu berpandangan bahwa, hukum Islam tidak
membolehkan seorang perempuan menjadi pemimpin bagi laki-laki. Kemudian terjadi
konspirasi antara para hartawan dan uleebalang, dan dijustifikasi oleh pendapat
para ulama yang akhirnya berhasil memakzulkan Ratu Kamalat Syah. Sejak saat
itu, berakhirlah era sultanah di Aceh.
Memasuki paruh kedua abad ke-18,
Aceh mulai terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris yang memuncak pada abad
ke-19. Pada akhir abad ke-18 tersebut, wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung
Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris. Pada tahun 1871 M,
Belanda mulai mengancam Aceh atas restu dari Inggris, dan pada 26 Maret 1873 M,
Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut,
Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada tahun 1883, 1892 dan 1893 M, perang
kembali meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal merebaut Aceh. Pada saat itu,
Belanda sebenarnya telah putus asa untuk merebut Aceh, hingga akhirnya, Snouck
Hurgronye, seorang sarjana dari Universitas Leiden, menyarankan kepada
pemerintahnya agar mengubah fokus serangan, dari sultan ke ulama. Menurutnya,
tulang punggung perlawanan rakyat Aceh adalah para ulama, bukan sultan. Oleh
sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan harus
diarahkan kepada para ulama. Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah Belanda
dengan menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah
yang dibakar Belanda[1].
Saran Snouck Hurgronye membuahkan
hasil: Belanda akhirnya sukses menaklukkan Aceh. J.B. van Heutsz, sang panglima
militer, kemudian diangkat sebagai gubernur Aceh. Pada tahun 1903, kerajaan
Aceh berakhir seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud kepada Belanda. Pada
tahun 1904, hampir seluruh Aceh telah direbut oleh Belanda. Walaupun demikian,
sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya pada Belanda. Perlawanan yang
dipimpin oleh tokoh-tokoh masyarakat tetap berlangsung. Sebagai catatan, selama
perang Aceh, Belanda telah kehilangan empat orang jenderalnya yaitu: Mayor
Jenderal J.H.R Kohler, Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel, Demmeni dan Jenderal J.J.K.
De Moulin.
Kekuasaan Belanda berlangsung hampir
setengah abad, dan berakhir seiring dengan masuknya Jepang ke Aceh pada 9
Februari 1942. Saat itu, kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong
Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan
masyarakat umum. Hubungan baik dengan Jepang tidak berlangsung lama. Ketika
Jepang mulai melakukan pelecehan terhadap perempuan Aceh dan memaksa masyarakat
untuk membungkuk pada matahari terbit, maka, saat itu pula mulai timbul perlawanan.
Di antara tokoh yang dikenal gigih melawan Jepang adalah Teungku Abdul Jalil.
Kekuasaan para penjajah berakhir ketika Indonesia merdeka dan Aceh bergabung ke
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
C.
Silsilah daftar para sultan yang pernah
berkuasa di kerajaan Aceh Darussalam:
1. Sultan
Ali Mughayat Syah (1496-1528 M)
2. Sultan
Salahuddin (1528-1537).
3. Sultan
Ala‘ al-Din al-Kahhar (1537-1568).
4. Sultan
Husein Ali Riayat Syah (1568-1575)
5. Sultan
Muda (1575)
Catatan:
Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (sultan ke-29) berkuasa pada dua periode yang
berbeda, diselingi oleh periode Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)[2].
D.
Struktur pemerintahan
Pada masa Sultan Ala‘ al-Din Mansur
Syah (1577-1589) berkuasa, kerajaan Aceh sudah memiliki undang-undang yang
terangkum dalam kitab Kanun Syarak Kerajaan Aceh. Undang-undang ini berbasis
pada al-Quran dan hadits yang mengikat seluruh rakyat dan bangsa Aceh. Di
dalamnya, terkandung berbagai aturan mengenai kehidupan bangsa Aceh, termasuk
syarat-syarat pemilihan pegawai kerajaan. Namun, fakta sejarah menunjukkan
bahwa, walaupun Aceh telah memiliki undang-undang, ternyata belum cukup untuk
menjadikannya sebagai sebuah kerajaan konstitusional.
Dalam struktur pemerintahan Aceh,
sultan merupakan penguasa tertinggi yang membawahi jabatan struktural lainnya.
Di antara jabatan struktural lainnya adalah uleebalang yang mengepalai unit
pemerintahan nanggroe (negeri), panglima sagoe (panglima sagi) yang memimpin
unit pemerintahan Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintahan
mukim yang terdiri dari beberapa gampong, dan keuchiek atau geuchiek yang
menjadi pimpinan pada unit pemerintahan gampong (kampung). Jabatan struktural
ini mengurus masalah keduniaan (sekuler). Sedangkan pemimpin yang mengurus
masalah keagamaan adalah tengku meunasah, imam mukim, kadli dan para teungku.
E.
Struktur
Agama
Dalam sejarah nasional Indonesia,
Aceh sering disebut sebagai Negeri Serambi Mekah, karena Islam masuk pertama
kali ke Indonesia melalui kawasan paling barat pulau Sumatera ini. Sesuai
dengan namanya, Serambi Mekah, orang Aceh mayoritas beragama Islam dan
kehidupan mereka sehari-hari sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam ini. Oleh
sebab itu, para ulama merupakan salah satu sendi kehidupan masyarakat Aceh.
Selain dalam keluarga, pusat penyebaran dan pendidikan agama Islam berlangsung
di dayah dan rangkang (sekolah agama). Guru yang memimpin pendidikan dan
pengajaran di dayah disebut dengan teungku. Jika ilmunya sudah cukup dalam,
maka para teungku tersebut mendapat gelar baru sebagai Teungku Chiek. Di
kampung-kampung, urusan keagamaan masyarakat dipimpin oleh seseorang yang
disebut dengan tengku meunasah.
Pengaruh Islam yang sangat kuat juga
tampak dalam aspek bahasa dan sastra Aceh. Manuskrip-manuskrip terkenal
peninggalan Islam di Nusantara banyak di antaranya yang berasal dari Aceh,
seperti Bustanussalatin dan Tibyan fi Ma‘rifatil Adyan karangan Nuruddin
ar-Raniri pada awal abad ke-17; kitab Tarjuman al-Mustafid yang merupakan
tafsir Al Quran Melayu pertama karya Shaikh Abdurrauf Singkel tahun 1670-an;
dan Tajussalatin karya Hamzah Fansuri. Peninggalan manuskrip tersebut merupakan
bukti bahwa, Aceh sangat berperan dalam pembentukan tradisi intelektual Islam
di Nusantara. Karya sastra lainnya, seperti Hikayat Prang Sabi, Hikayat Malem Diwa,
Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, merupakan bukti
lain kuatnya pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh.
F.
Struktur sosial dan budaya
Kebudayaan masyarakat di Kerajaan
Aceh Darussalam juga makin bertambah maju karena sering berhubungan dengan
bangsa lain. Kemajuan tersebut terbukti dengan adanya hukum adat yang dilandasi
ajaran Islam yang disebut Hukum Adat Makuta Alam. Menurut Hukum Adat Makuta
Alam, pengangkatan sultan haruslah Semufakat hukum dengan adat. Dalam menjalankan
kekuasaan, sultan mendapat pengawasan dan alim ulama, kadi, dan dewan
kehakiman. Mereka bertugas memberi peringatan kepada sultan terhadap
pelanggaran adat dan hukum yang dilakukan. Pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda muncul ahli tasawuf yang terkenal, yaitu Hamzah Fansyuri dan
muridnya Syamsudin as Sumatrani. Mereka banyak sekali menulis buku berbentuk
prosa ataupun syair.
Pada saat pemerintahan Sultan
Iskandar Thani, muncul ahli tasawuf terkenal dari Gujarat yang bernama
Nurruddin ar Raniri. Hasil kàryanya yang terkenal adalah Bustanus Salatin yang
berisi sejarah Aceh Darussalam. Ajaran Nurrudin ar Raniri bertentangan dengan
ajaran Hamzah Fansyuri dan Syamsudin as Samatrani. Hal itu menyebabkan.
perpecahan di Kerajaan Aceh Darussaiam. Pada tahun 1641, Sultan Iskandar Thani
wafat. Setelah Sultan Iskandar Thani meninggal, Aceh Darussalam mengalami
kemunduran di berbagai bidang[3].
G.
Kehidupan Politik kerajaan Aceh
Darussalam.
Sultan pertama yang telah memerintah
dan sekaligus menjadi sebagai pendiri dari kerajaan Aceh Darussalam ialah
Sultan Ibrahim atau Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1514 sampai 1528.
Kerajaan Aceh Darussalam itu berusaha dalam memperluas pengaruh dengan mulai
merebut beberapa daerah yang ada disekitarnya. Di tahun 1524, Samudra Pasai dan
Pedir mulai ditaklukkan. Sesudah Sultan Ali Mughayat Syah akhirnya wafat maka
tahta kerajaan Aceh Darussalam secara berturut-turut mulai digantikan oleh
Sultan Alaudin Riayat Syah al Kahar pada tahun 1537 sampai 1571, selanjutnya
Sultan Alaudin Mansur Syah pada tahun 1571 sampai di tahun 1585, Kemudian
dipimpin oleh Sultan Alaudin Ri’ayat Syah Ibn Sultan Munawar Syah yang telah
memerintah sampai pada tahun 1588, dan Sultan Alaudin Riayat Syah Ibn Firman
Syah. Di masa kepemerintahan Sultan Alaudi Riayat Syah Ibn Firman Syah, orang
inggris dan belanda kemudian diterima dengan baik sebagai suatu mitra
perdagangan lada. Sesudah Sultan Alaudin Riayat Syah Ibn Firman Syah akhirnya
wafat, maka sultan yang akan memerintah selanjutnya ialah Sultan Muda dengan
lama sampai pada tahun 1607. Kemudian, tahta selanjutnya diambil alih oleh
Sultan Iskandar Muda yang sudah lama memerintah selama 29 tahun yaitu dari
tahun 1607 sampai pada tahun 1636.
H.
Kehidupan Ekonomi
Kehidupan ekonomi masyarakat Aceh
adalah dalam bidang pelayaran dan perdagangan. Pada masa kejayaannya,
perekonomian berkembang pesat. Penguasaan Aceh atas daerah-daerah pantai barat
dan timur Sumatra banyak menghasilkan lada. Sementara itu, Semenanjung Malaka
banyak menghasilkan lada dan timah. Hasil bumi dan alam menjadi bahan ekspor
yang penting bagi Aceh, sehingga perekonomian Aceh maju dengan pesat.
Bidang perdagangan yang maju
menjadikan Aceh makin makmur. Setelah Sultan Ibrahim dapat menaklukkan Pedir
yang kaya akan lada putih, Aceh makin bertambah makmur. Dengan kekayaan
melimpah, Aceh mampu membangun angkatan bersenjata yang kuat. Pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh mencapai puncak kejayaan. Dari daerah
yang ditaklukkan didatangkan lada dan emas sehingga Aceh merupakan sumber
komoditas lada dan emas.
I.
Kehidupan sehari-hari
Sebagai tempat tinggal sehari-hari,
orang Aceh membangun rumah yang sering disebut juga dengan rumoh Aceh. Untuk
mencukupi kebutuhan hidup, mereka bercocok tanam di lahan yang memang tersedia
luas di Aceh. Bagi yang tinggal di kawasan kota pesisir, banyak juga yang
berprofesi sebagai pedagang. Senjata tradisional orang Aceh yang paling
terkenal adalah rencong, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat dari
dekat menyerupai tulisan kaligrafi bismillah. Senjata khas lainnya adalah Sikin
Panyang, Klewang dan Peudeung oon Teubee.
Aceh cepat tumbuh menjadi kerajaan
besar karena didukung oleh faktor sebagai berikut.
·
Letak ibu kota Aceh sangat strategis,
yaitu di pintu gerbang pelayaran dari India dan Timur Tengah yang akan ke
Malaka, Cina, atau ke Jawa.
·
Pelabuhan Aceh (Olele) memiliki
persyaratan yang baik sebagai pelabuhan dagang. Pelabuhan itu terlindung oleh
Pulau We, Pulau Nasi, dan Pulau Breuen dari ombak besar.
·
Daerah Aceh kaya dengan tanaman lada sebagai
mata dagangan ekspor yang penting. Aceh sejak dahulu mengadakan hubungan dagang
internasional.
·
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis
menyebabkan pedagang Islam banyak yang singgah ke Aceh, apalagi setelah jalur
pelayaran beralih melalui sepanjang pantai barat Sumatra.
J.
Kesimpulan
Kerajaan Aceh sangat terkenal dan
gigih dalam melawan para penjajah. Pada awalnya, Kerajaan Aceh Darussalam
adalah daerah taklukan Kerajaan Pedir. Kerajaan Aceh Darussalam mulai
berkembang pesat setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511. Setelah
Malaka jatuh ke tangan Portugis, para pedagang muslim yang pedagang di Malaka
pindah ke bandar laut Aceh Darussalam. Dengan demikian, Aceh Darussalam segera
berkembang dan mampu lepas dari Kerajaan Pedir pada tahun 1520.
Dan lagi penyebab Aceh cepat tumbuh
menjadi kerajaan besar karena didukung oleh bermacam-macam faktor baik Letak
ibu kota Aceh sangat strategis, Pelabuhan Aceh (Olele) memiliki persyaratan
yang baik sebagai pelabuhan dagang, dll.
K.
Referensi
www.id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Aceh.com
www.informasiana.com/kerajaan-islam-di-indonesia-kerajaan-aceh-darussalam/
Hasjmy,
A. 1961. Ichtiar Susunan dan Sistem
Keradjaan Atjeh di Zaman Sultan Iskandar Muda. Banda Aceh: Tidak
Diterbitkan.
Langen,
van, K.F.H. 1986. Susunan Pemerintahan
Aceh Semasa Kesultanan. Alih Bahasa oleh Aboe bakar. Banda Aceh:
Dokumentasi dan Informasi Aceh
www.artikelsiana.com/2014/11/sejarah-kerajaan-islam-kerajaan-aceh.html
Lombard,
Denys. 2007. Kerajaan Aceh Zaman Sultan
Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
[1] Hasjmy, A. 1961. Ichtiar Susunan dan Sistem Keradjaan Atjeh
di Zaman Sultan Iskandar Muda. Banda Aceh: Tidak Diterbitkan.hal.43
[2] Langen, van, K.F.H.
1986. Susunan Pemerintahan Aceh Semasa
Kesultanan. Alih Bahasa oleh Aboe bakar. Banda Aceh: Dokumentasi dan
Informasi Aceh.h.56
[3] Lombard, Denys. 2007. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda
(1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.h.75
Tidak ada komentar:
Posting Komentar